31/10/24

Istiqamah dalam Bertaubat

Penulis, Akhmad Muhaimin Azzet

Selama ini, kebanyakan orang sering memahami bahwa bertaubat hanya perlu dilakukan oleh seseorang yang telah berbuat dosa besar. Maka, bagi orang yang shalatnya sudah baik, dalam arti telah menjalankan shalat lima waktu dengan tertib; atau orang yang perbuatannya sudah termasuk golongan orang yang baik-baik, dalam arti bukan pelaku dosa besar, maka sudah tidak perlu untuk bertaubat. Benarkah demikian?

Dalam risalah sederhana ini, saya akan mengajak pembaca tercinta untuk memahami bahwa bertaubat pun semestinya kita lakukan secara terus-menerus, sebagaimana kita memohon ampunan kepada Allah Swt.

Menurut Syekh Abu Ishaq Ibrahim al-Matbuliy dalam kitab al-Minahu as-Saniyyah, menyebutkan bahwa taubat itu ada permulaan dan kesudahannya; taubat itu bertingkat-tingkat, ada awal dan ada puncaknya. Setidaknya ada sembilan tingkatan taubat menurut beliau. Yakni, (1) permulaan dari taubat adalah bertaubat dari dosa-dosa besar; (2) lalu bertaubat dari dosa-dosa kecil; (3) bertaubat dari perkara yang dibenci atau makruh; (4) bertaubat dari perkara yang menyimpang dari keutamaan; (5) bertaubat dari dugaan mengenai kebaikan dirinya; (6) bertaubat dari dugaan bahwa dirinya sudah menjadi kekasih Allah; (7) bertaubat dari dugaan bahwa dirinya telah benar-benar bertaubat; (8) bertaubat dari kehendak hati yang tidak diridhai Allah; (9) dan puncaknya adalah bertaubat sewaktu-waktu lupa dari melihat-Nya (mengingat-Nya) walau hanya dalam sekejap.

Berdasarkan tingkatan taubat sebagaimana yang disampaikan Syekh Abu Ishaq Ibrahim al-Matbuliy tersebut, tampaknya kita semua tidak bisa melepaskan diri dari amalan taubat. Bagi seseorang yang telah melakukan dosa besar, maka sudah barang tentu ia bertaubat kepada Allah Swt. Lalu, bagaimana dengan orang yang sudah tidak pernah melakukan dosa besar, hendaknya ia bertaubat kepada Allah Swt. atas dosa-dosa kecil yang telah ia lakukan.

Bertaubat semestinya tetap dilakukan, meskipun bagi orang yang sudah tidak melakukan dosa besar maupun kecil, ia bisa bertaubat kepada Allah apabila ia telah melakukan perkara yang dibenci atau makruh. Bila tidak, ia bisa bertaubat apabila ia telah melakukan perkara yang menyimpang dari keutamaan. Misalnya, seseorang mempunyai waktu luang, dapat saja waktu luang itu ia gunakan untuk menonton televisi atau tidur-tiduran, tapi ada yang lebih utama dari kedua hal tersebut untuk mengisi waktu luang, yakni membaca al-Qur’an atau berdzikir. Bila seseorang telah memilih menonton televisi atau tidur-tiduran dibanding membaca al-Qur’an atau berdzikir, maka dia pun semestinya bertaubat kepada Allah Swt.

Lalu, bagaimana dengan orang yang sudah sangat baik sekali, yang sepertinya sudah sangat langka keberadaannya di zaman modern ini, yakni sudah tidak melakukan dosa besar maupun kecil, meninggalkan perbuatan makruh, dan selalu memilih yang utama dalam hidupnya? Subhanallah…! Orang yang semacam ini pun masih perlu bertaubat kepada Allah Swt. dari dugaan bahwa dirinya telah menjadi orang baik. Selanjutnya, ia tetap bertaubat kalau-kalau merasa bahwa dirinya telah menjadi kekasih Allah, bahkan ia perlu bertaubat dari dugaan bahwa dirinya telah benar-benar bertaubat.

Saudaraku tercinta, sungguh merinding hati saya dan benar-benar merasa sangat kecil diri ini bila membayangkan tingkatan taubat diri ini sampai di mana. Apalagi, masih ada tingkatan taubat lagi bagi orang yang sangat baik sebagaimana tersebut, yakni bertaubat dari kehendak hati yang tidak diridhai Allah Swt. Dan, puncaknya, bertaubat dari sewaktu-waktu lupa melihat-Nya (mengingat-Nya) walau hanya sekejap. Sungguh dalam sekali makna ajaran Syekh Abu Ishaq Ibrahim al-Matbuliy yang terkenal sebagai seorang wali atau kekasih Allah tersebut.

Dengan demikian, bertaubat kepada Allah Swt. adalah amalan yang semestinya kita lakukan. Sebab, setiap manusia pasti mempunyai kesalahan. Siapakah di antara kita yang mempunyai alasan untuk tidak bertaubat? Sungguh, sama sekali kita tidak mempunyai alasan untuk tidak bertaubat kepada Allah Swt. Maka, marilah kita memperbanyak memohon ampunan dan bertaubat kepada-Nya.

Salam dari Jogja
Akhmad Muhaimin Azzet

12 komentar:

  1. karena kita sebagai manusia pastilah melakukan dosa, sekecil apapun dosa yang di lakukan...tetap wajib bertaubat ya pak.

    BalasHapus
  2. jadi bertobat enggak harus orang yang melakukan dosa, tapi orang baik sekalipun harus bertobat, karna pada dasarnya kita enggak tau atau tidak sadar telah melakukan dosa :D

    BalasHapus
  3. Terima kasih risalah tentang taubatnya, Mas.
    Rupanya ada beberapa tingkatan taubat dan taubat harus dilakukan terus menerus aka istiqamah.

    Salam,

    BalasHapus
  4. Makasih ilmunya mas, kita tetap harus bertaubat biarpun rajin ibadah ataupun mengaji, karena siapa tahu kita rajin ibadah karena ingin dipuji-puji dan itu malah dosa ya mas.

    BalasHapus
  5. Saya punya pertanyaan, bagaimana jika seseorang selalu melakukan taubat, tp berbuat dosa lagi, lalu bertaubat lagi, kemudian melakukan dosa lagi, hingga berulang-ulang begitu trs. Apakah taubatnya itu suatu saat bnr2 akan diterima oleh Allah? Karena setidaknya dia seperti mempermainkan taubat.

    BalasHapus
  6. Ternyata taubat itu ada tingkatannya, jujur baru tau saya, selama ini saya taunya kalau berbuat salah/dosa kita harus bertaubat tanpa tau ada tingkatannya.

    BalasHapus
  7. Ternyata taubat itu banyak tingkatan nya ya mas, kirain cuma kalo berbuat salah seperti main judi online, kalah lalu tobat.😭

    BalasHapus
  8. Bertobat juga ternyata banyak tingkatannya, dan tobat perlu dilakukan oleh kita semua...Mudah-mudah kita semua orang2 yang diteruma tobatnya.

    BalasHapus
  9. Dosa yang paling perlu banyak bertaobat bagi kaum emak adalah suka bergosip. Hehehe

    BalasHapus
  10. kadang kesibukan dunia melenakan kita dan merasa sudah berbuat baik

    BalasHapus
  11. sentiasalah bertaubat sebba kita tak tahu bila kita akan meninggal
    taubat takkan diterima apabila nyawa sudah sampai di kerongkong...

    BalasHapus